Bagaimana Melindungi Anak dari Bahaya Teknologi?

Melindungi Anak dari Bahaya Teknologi
Anak adalah anugerah terindah dari Allah swt. Karena itu harus dilindungi dari pengaruh-pengaruh negatif yang bertebaran dimana-mana.
 Usai gonjang-ganjing video asusila yang menggegerkan publik Indonesia, muncul berbagai usulan menarik. Seperti pembatasan tayangan Infotainment [berita hiburan], pengklasifikasi Infotainment sebagai program non-faktual hingga pemblokiran situs porno yang dimotori oleh Menteri Komunikasi dan Informasi [Menkominfo] dan dikawal Komisi Perlindungan Anak Indonesia [KPAI].

Jujur saja, ekspos yang jor-joran di berbagai televisi soal pornografi kemarin memang membuat miris banyak pihak. Keprihatinan ini menyangkut moralitas anak-anak; hendak diarahkan kemana mereka jika dalam usia dini sudah mengunyah informasi yang meracuni kepala mereka.

Sayangnya, program pertelevisian kita yang benar-benar mendidik, porsinya jauh lebih sedikit ketimbang hiburannya. Justru tayangan hiburan, seperti:Infotainment, reality show, sinetron, kekerasan yang ditampilkan secara vulgar dan sebagainya, jauh lebih besar. Jika sudah demikian, maka televisi yang seharusnya menjadi media yang bisa mencerdaskan makin jauh dari sasaran.

Padahan televisi punya peran penting strategis. Bukan sekedar mengejar keuntungan semata, tetapi memprioritaskan penyajian informasi yang lebih edukatif dan inspiratif. sebab, ketika yang disajikan itu ada aspek yang mendidik, maka membawa kebaikan pula bagi anak. sebaliknya, jika hal-hal yang kurang berkenan dipertontonkan, maka media menyumbang pengaruh buruk pula pada anak-anak. sebab penanaman nilai yang salah itu bisa tertanam ke alam bawah sadar anak-anak.

Dua sifat media televisi ini, menurut Kak Seto, bisa dianalogikan seperti gunting. Apabila gunting dibuat untuk menggunting hasta karya, maka hasilnya akan bagus. Tapi kalau untuk menggunting taplak meja atau baju adiknya, ya gunting itu jadinya merusak.

Televisi yang punya visi membangun masa depan bangsa tentu tidak lepas kendali. Ada asas kepatutan apakah informasi dan tayangan yang ditampilkan bakal menimbulkan keresahan atau tidak dan perlu memikirkan bagaimana agar anak-anak tidak 'dipaksa' untuk mengunyah mentah-mentah apa yang mereka lihat.
Bimbing anak untuk memanfaatkan teknologi
Bimbing anak untuk memanfaatkan teknologi

Mudah Meniru dan Terpengaruh

Televisi ini seperti sudah seperti candu bagi anak-anak maupun orang dewasa. Ada manfaatnya, namun tidak sedikit pula mudharatnya. Malah bila mencermati kondisi belakangan ini, televisi berpotensi menular efek buruk bagi sikap, pola pikir dan prilaku orang, terlebih anak-anak. Anak-anak yang masih rentan daya kritisnya akan mudah sekali terpengaruh dengan isi dan materi tayangan yang dilihatnya dan pengaruh bisa terbawa sampai mereka dewasa.

Karakter anak memang lebih mudah meniru ketimbang menalar. Anak-anak yang tengah dalam masa pertumbuhan akan tertuntun dengan apa yang dilihatnya. Sesuatu yang baik, bisa jadi akan langsung terekam ke dalam memorinya dan dianggapnya sebagai sebuah kebenaran.

Ingat kasus Sandi, bocah perokok asal Malang Jawa Timur.! Lingkungan sekitarnyalah yang membentuk prilakunya hingga sedemikian rupa. Sandi sebelumnya merupakan perokok berat, bicaranya pun jorok. Ketika ditanya tentang cita-citanya pun , ia menjawab se enaknya. Fakta ini lagi-lagi membuktikan bahwa segala sesuatu yang dilihat secara kontinyu seolah menjadi pembenaran tentang perbuatannya.

Televisi juga demikian. Tatkala acaranya menampilkan sesuatu yang kurang pantas, namun karena terus menerus mencekoki anak bisa saja dianggap sebagai kebenaran. Apalagi jika perbuatan itu dilakukan oleh publik figur. Bukan saja anak-anak yang bisa meng-copy perbuatan tersebut, melainkan juga remaja yang emosinya masih labil.

Nah, jika televisi kita kenyataanya lebih banyak menyuguhkan tayangan-tayangan yang kurang etis, baik dari sisi norma agama maupun masyarakat, maka sejatinyasama saja ikut andil membentuk karakter anak yang kurang baik. Mungkin karena wajah media kita masih menjunjung tinggi kapitalisnme, sehingga moral agak sedikit terabaikan. Satu contoh ketika keresahan publik membuncah, tidak ada upaya untuk meredam dengan menyuguhkan sajian yang lebih produktif. justru sebaliknya, informasi yang meresahkan itu terus di-blowup habis-habisan sehingga dampaknya merembet kemana-mana.

Ciptakan Lingkungan yang Sehat

Mengingat begitu besar dampak psikologis yang kurang baik, sementara pihak stasiun televisi belum bisa mengatur regulasi sajian yang baik, peran lingkungan keluarga sangat menentukan. Dari keluargalah, satu-satunya filter terbaik untuk anak.

Memang secara keseluruhan, ada tiga lingkungan yang sangat mempengaruhi kualitas mental dan spiritual anak, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan sosial yang bisa mempengaruhi perkembangan dan pombentukan karakter anak. Akan tetapi keluargalah lingkungan pertama yang dikenal oleh anak. ketika lingkungan keluarga kondusif bagi anak, maka besar kemungkinan perkembangan fisik maupun psikisnya juga akan baik.

J.Drost SJ, seorang ahli pendidikan dari IKIP Sanata Dharma pernah menulis dalam buku Reformasi Pengajaran: Salah Asuhan Orangtua? Menurutnya, penanaman nilai-nilai dalam pembentukan watak merupakan proses informal, jadi seluruh pembentukan moral manusia muda hanya lewat interaksi informal antara dia dan lingkungan hidup manusia muda itu. Maka pendidikan utamanya adalah orangtua.

Oleh karena itu, keluarga mesti bisa menciptakan lingkungan yang sehat. Sehat disini bukan fisik belaka namun lebih penting lagi sehat ruhani. Kalau pun tidak bisa menyetop sama sekali perhatian sang anak dari kotak ajaib itu, setidaknya perlu pendampingan dan bimbingan mengenai suguhan yang layak. Perlu dijelaskan pula bahwa tidak semua tayangan mengandung nilai-nilai kebenaran yang pantas untuk dilihat dan ditiru oleh anak. Orangtua harus memilah program-program apa saja yang layak ditonton oleh anak dan mana yang tidak.
Mungkin sebagian orangtua acuh acara apa yang ditonton anaknya. Namun dari sinilah, Sesungguhnya dampak negatif itu bisa menjalar pada prilaku anak sebab ada pembiaran dari orangtua.
 Anak merasa mendapat izin mengakses seluas-luasnya padahal belum bisa membedakan baik-buruk atau benar-salah.

Disamping itu, orangtua harus menjadwalnya. Ada saatnya menonton acara yang sesuai, ada waktunya belajar, ada saatnya bermain, dan adapula saatnya membantu pekerjaan rumah. Karena itu, jika sang anak melanggar, orangtua bisa mengenakan sangsi yang mendidik.

Sementara diluar rumah, orangtua juga tetap memantau kegiatan anak di luar rumah. Sebab bisa saja anak yang kelihatan alim dirumah, namun karena merasa terkekang dirumah kemudian meluapkan kekesalannya diluar rumah. Karena itu komunikasi dua arah yang baik antara anak kepada orangtuanya dan sebaliknya sangat penting. Orangtua tidak boleh sembarangan mengekang sebelum bisa menjelaskan dengan baik kepada sang anak.

Tidak cukup disitu, benteng yang tidak kalah pentingnya bagi anak dari bahaya kemajuan teknologi adalah pemenuhan kebutuhan spiritual, Pendidikan agama perlu ditumbuhkan sejak dini agar bisa berpikir dengan kejernihan hati. Terkadang anak melakukan suatu perbuatan karena minimnya pengetahuan agama yang didapatkan. Bila bekal agama sudah tertanam, arus informasi yang bersifat negatif yang datang dari luar atau pun dari kecanggihan teknologi tidak terlalu berpengaruh bagi anak-anak karena sudah memiliki filter untuk menyaring informasi-informasi yang ada.

disini jelas anak todak boleh dilepas begitu saja. Mengingat anak adalah anugrah yang tak ternilai dari Allah swt, maka ia harus dilindungi dari pengaruh-pengaruh negatif yang bertebaran dimana-mana apalagi kemajuan teknologi  semakin mudah terjangkau. Bukan berarti lantas mengekang anak untuk bersentuhan dengan teknologi, melainkan dibutuhkan pengetahuan yang benar agar penggunaan atau pemanfaatannya pun positif. Sebab teknologi justru sangat berguna ketika bisa menggunakan ke arah yang lebih baik. Sebaliknya bisa menjadi malapetaka ketika salah menempatkan.

0 Response to "Bagaimana Melindungi Anak dari Bahaya Teknologi?"